Thursday, April 26, 2007

Hakikat Seorang Anak

"Anakmu bukanlah milikmu. Mereka putera puteri sang Hidup yg rindu pada diri sendiri. Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau. Mereka ada padamu, tapi bukan kepunyaanmu.

Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri. Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya. Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam mimpi.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka, namun jangan membuat mereka menyerupaimu. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, tidak juga tenggelam di masa lampau.

Kau adalah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur. Sang Pemanah Maha tahu sasaran bidik keabadian, dia merentangkan dengan kekuasaan-Nya, hingga anak panah itu melesat,
jauh serta cepat..........."

(Kahlil Gibran: The Prophet)

Saturday, April 14, 2007

DAN BINTANG-BINTANGPUN AKHIRNYA MAU TERSENYUM JUGA BAG. 4

Hari yang membahagiakan itu datang juga....

Mama dan Om Her akhirnya menikah. Semalaman aku tidak bisa tidur, tak sabar menunggu hari esok. Hari dimana OM Her akan menjadi papaku. Terima kasih Ya Alloh, Akhirnya engkau memberikan aku seorang papa.

Ada yang aneh dalam pernikahan itu. Mama dan Om Her tidak menandatangani buku nikah. Tepatnya, tidak ada buku nikah sama sekali! Apakah mereka menikah siri? My God! Sayangnya aku terlalu berbahagia sehingga tidak mau memikirkan masalah itu. Saat itu yang ada dalam fikiranku hanyalah 'aku punya papa!'

Setelah pernikahan itu, setiap berangkat ke sekolah, aku selalu mencium tangan papa. Biasanya cuma mama yg aku cium tangannya. Dan akupun berangkat sekolah dengan hati riang. Seakan ingin kukatakan pada dunia, "lihat sekarang aku lengkap! aku sudah punya papa!'

Tapi....

Lama kelamaan, sosok papa di rumah sering jarang terlihat. Setiap aku tanya mama, kemana papa berhari-hari tidak pulang, mama selalu bilang keluar kota. Sekali dua kali, aku masih percaya dengan jawaban mama. Tapi apa iya dalam sebulan papa lebih banyak keluar kota dari pada di rumah? Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan itu hanya aku simpan dalam hati saja. Seakan-akan pertanyaan itu hanya akan merenggut kebahagiaanku dan mama.

Sampai akhirnya, dua bulan setelah pernikahan itu, 3 orang perempuan datang ke rumahku, yang rupanya seorang ibu dan dua orang anaknya. Ibu gemuk itu menwgedor-gedor pintu rumahku, sementara 2 orang anaknya berteriak-teriak memanggil nama mama, menyuruh segera keluar.

Aku dan mama berlari keluar dengan tergopoh-gopoh.

"Heh! Elu yang namanya Yenny?" Kata si ibu gemuk sambil melotot.

"Iya, bu Dian" Kata mama dengan tenang. Aku heran mama bisa setenang itu, dan kok kenal sama ibu galak itu. Mama memasang jari telunjuk di depan mulutnya, ketika melihat aku mau angkat bicara. Akupun diam.

"lhooo.... elu kok bisa tau nama gue?" Sergah ibu gemuk itu. "Berarti lu tau gue ini siapa?!"

"Iya bu Dian, saya tau siapa ibu"

"Kalo elu udah tau, kenapa lu tetep kawin sama laki gue?!"

Ya Alloh, bagai tersambar petir aku mendengarnya. Jadi benar dugaanku selama ini. Mamaku hanya istri kedua, yang dinikahi secara siri, tanpa sepengetahuan istri pertama. Ya Alloh.... air mataku akhirnya menetes.

Keadaan semakin ramai. Mama dikerubuti oleh 3 orang perempuan yang sibuk berteriak-teriak mengeluarkan seisi kebun binatang dari mulutnya. Mama kebanyakan diam. Hanya sekali-kali bicara, mencoba menenangkan ketiga perempuan yang sedang marah itu. Tetangga makin banyak yang menonton acara gratis di petang hari Minggu itu.

Karena tidak tahan melihat mamaku dikata-katai habis-habisan tanpa melawan sedikitpun, aku pun bertindak, aku berteriak lebih keras dari mereka bertiga.

"Diam kalian semua!!!!"

Ternyata manjur, semua tiba-tiba diam.

"Dengar kalian bertiga. Jangan cuma bisa menyalahkan mama saya atas apapun yang terjadi di rumah kalian! Tanya diri kalian sendiri, kenapa suami atau papa kalian tercinta itu bisa memilih mama saya. Pasti kalian tidak bisa membahagiakan dia, sehingga dia mencari kebahagiaan di rumah kami. Cepat pergi dari sini, kecuali urat malu kalian sudah putus!!!"

Aku seret mama ke dalam rumah. setelah mengunci pintu, kami masuk ke kamar mama, yang aku kunci juga. Di atas tempat tidur mama, aku terdiam. Teriakan-teriakan masih terdengar. Bahkan terakhir sebelum teriakan itu menghilang, aku dengar suara kaca pecah dilempar sesuatu.

Suasana kemudian tenang. Pasti ketiga perempuan itu sudah pergi. Tinggal isak tangisku yang terdengar. Mama memelukku, menangis juga. Minta maaf kepadaku, karena selama ini tidak jujur. Sudahlah... semua sudah terjadi. Kupeluk mama erat-erat.

Malamnya papa datang. Wajahnya terlihat begitu tegang. Dari dalam kamar aku mendengar mereka bertengkar. Aku mengurung diri di dalam kamar, mencoba untuk pura-pura tidak mendengar keributan mereka. Tiba-tiba aku dengar mama berteriak. Diikuti dengan suara pintu dibanting. Tidak lama kemudian terdengar suara mobil papa pergi. Aku berlari menuju kamar mama. Kulihat mama terpuruk di dekat tempat tidur. Ya Alloh.... hidung mama berdarah. Kurang ajar!!!! Laki-laki itu memukul mamaku.

Aku telepon Hp papa, berkali-kali teleponku direject. Mama berusaha merebut horn telepon, mencegah aku agar tidak menelepon papa. Akhirnya aku cuma bisa menangis sambil memeluk mama.

Malam itu aku tidur di kamar mama. Banyak yang mama ceritakan. Dan yang paling aku ingat adalah kata-kata : 'Mama sudah tidak peduli dengan cinta. Cinta mama hanya untuk kamu. Dan Mama akan melakukan apapun agar masa depanmu terjamin'

What? Semalaman aku mencerna kata-kata itu. Berkali-kali kutepis fikiran negatif yang menghinggapiku. Mama... kenapa aku membuatmu jadi tidak punya harga diri? But, what can I do? Aku tidak sanggup membela harga diri mama. Aku tidak punya apa-apa. Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah, berjanji, suatu ketika aku akan membahagiakan mama.

Nah.... abis kejadian itu, papa tambah jarang pulang, dan tiap pulang mesti marah-marah terus. Bahkan mulai sering ringan tangan. Tapi mama selalu menghalangiku untuk berbuat apapun. 'Ingat masa depan kamu! Itu yang lebih penting!' Kata mama selalu.

Yah... begitulah ceritanya kenapa Shayen yang periang akhirnya berubah menjadi Shayen yang pemurung dan pemarah. Aku tidak pernah lagi mencium tangan papa dan sebisa mungkin tidak bertemu atau bicara dengannya. Aku mulai belajar untuk mendengar kata-kata hinaan dari mulutnya, tanpa berbuat apapun. Just like what my mom did......

Aku akan membalasnya, Ma....